Senin, 20 Februari 2012

RANCANGAN KUHP YANG BARU

BEBERAPA CATATAN BERKAITAN DENGAN
RUU KUHP BARU






Oleh :
Prof. Dr. Muladi, S.H.








Disampaikan pada
Seminar Nasional RUU KUHP Nasional
Diselenggarakan oleh
UNIVERSITAS INTERNASIONAL BATAM
BATAM – 17 Januari 2004

BEBERAPA CATATAN BERKAITAN DENGAN
RUU KUHP BARU
                          --------------------------------------------------------------
                                              Prof. Dr. Muladi, SH
                                (Anggota Tim Perancang RUU KUHP)


       Perkembangan   hukum pidana nasional sampai saat ini mengikuti pelbagai pendekatan (reform approach) sebagai berikut :

a.    Pendekatan evolusioner melalui pelbagai amandemen pasal-pasal tertentu baik yang berupa kriminalisasi (misalnya Pasal 156a  KUHP Jo. UU No. 1 Tahun 1965 ) maupun dekriminalisasi sebagai konsekuensi Pasal V  UU No. 1 Tahun 1946);
b.    Pendekatan semi-global dengan munculnya pelbagai tindak pidana khusus di luar KUHP seperti UU Tindak Pidana  Korupsi, UU tentang Pencucian Uang, Tindak Pidana Terorisme dan sebagainya, mengingat kekhususan-kekhususan pengaturan baik di bidang  hukum pidana materiil maupun hukum pidana formil;
c.    Pendekatan kompromi,  dengan pengaturan suatu  Bab baru dalam KUHP akibat ratifikasi konvensi internasional yang signifikan (misalnya Bab XXIX A  KUHP Jo. UU No. 4 Tahun 1976 sebagai konsekuensi ratifikasi terhadap  Konvensi-konvensi  Montreal, Tokyo dan Konvensi The  Haque tentang Kejahatan Penerbangan dan  Kejahatan Terhadap Sarana Penerbangan) ;
d.    Pendekatan komplementer dengan munculnya hukum pidana administrative (administrative penal law) di mana sanksi hukum pidana digunakan untuk memperkuat sanksi hukum administrasi (UU Pers, UU tentang HAKI, UU Perlindungan Konsumen dan sebagainya).



       Sepanjang berkaitan dengan RUU KUHP baru pendekatan yang dilakukan adalah bersifat menyeluruh dan bukan bersifat ‘amandemen’  dengan maksud untuk menggantikan WvS warisan Belanda dengan KUHP Nasional, sehingga pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan global (global approach), yang tidak mungkin bisa difahami secara sepotong-sepotong (fragmented) seperti yang tersirat dalam polemik di masyarakat akhir-akhir ini..           Usaha ini sudah berlangsing lebih dari  40 tahun (1963) semenjak Seminar Hukum Nasional I di Semarang yang dimotori oleh BPHN Departemen Kehakiman.. Tokoh-tokohnya seperti Prof. Oemar Senoadji, Prof. Sudarto, Prof Ruslan Saleh bahkan sudah wafat.   
 Karakteristik pendekatan global ini nampak terutama dalam pengaturan-pengaturan yang mendasar, baik yang berkaitan dengan asas-asas hukum pidana (criminal law principles) sebagaimana diatur dalam Buku I KUHP, maupun dalam pengaturan 3 (tiga) permasalahan pokok hukum pidana  yaitu pengaturan tentang pelbagai perbuatan yang bersifat melawan hukum (criminal act), pengaturan tentang pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) dan  pengaturan tentang sanksi baik yang berupa pidana (punishment, straf) maupun tindakan (treartment, maatregel).
       Mengutip pendapat salah satu anggauta Tim Perancang Prof. Dr. Barda Nawawi Arif, SH, maka asas-asas dan system hokum pidana nasional dalam Konsep RUU KUHP disusun berdasarkan ‘ide keseimbangan’ yang mencakup :
-    keseimbangan monodualistik antara ‘kepentingan umum/masyarakat’ dan ‘kepentingan individu/perseorangan’;
-    keseimbangan ide perlindungan/kepentingan korban dan ide individualisasi pidanal
-    keseimbangan antara unsure/factor ‘obyektif’ (perbuatan/lahiriah) dan ‘subyejtif’ (orang/batiniah/sikap batin); ide ‘daad-dader strafrecht’;
-    keseinbangan antara criteria ‘formal’ dan ‘material’’;
-    keseimbangan antara ‘kepastian hukum’, ‘kelenturan /elastisitas/ fleksibilitas’ dan ‘keadilan’;
-    keseimbangan nilai-nilai nasional dan nilai-nilai global/ internasional/ universal.
Dalam merumuskan RUU KUHP para pakar yang terlibat telah berusaha menyerap aspirasi.yang bersifat multidimensional   baik yang berasal dari elemen-elemen suprastruktural, infrastruktural, akademis maupun aspirasi internasional dalam bentuk pengkajian terhadap pelbagai kecenderungan internasional dan pelbagai KUHP dari seluruh keluarga hukum (Anglo Saxon, Kontinental, Timur Tengah, Timur Jauh dan Sosialis). Namun demikian  selalu tidak dilupakan aspirasi yang berasal dari budaya bangsa (elemen partikularistik);
       Sepanjang mengenai Asas-asas Hukum Pidana yang diatur dalam Buku I, beberapa hal yang  perlu digarisbawahi  adalah sebagai berikut :
1.    Nuansa HAM dalam rangka menciptakan hukum pidana yang manusiawi (humanitarian criminal law) sangat menonjol, baik untuk kepentingan masyarakat, kepentingan pelaku maupun kepentingan korban kejahatan. Sifat hukum pidana yang semula merupakan hukum pidana perbuatan (Daadstrafrecht) (WvS) yang dipengaruhi Aliran Klassik setelah Revolusi Perancis  disempurnakan menjadi hukum pidana yang juga berorientasi pada pelaku,  atas dasar  pengaruh Aliran Modern/ Aliran Neo-Klassik (Daad-daderstrafrecht); Pidana yang semula semata-mata bertujuan untuk pembalasan (retribution) ditujukan kearah yang lebih bermanfaat (lihat Butir 9 di bawah); 
2.    Dalam kaitannya dengan Butir 1 di atas, sesuai dengan Konvensi tentang Hak-hak Anak, maka secara khusus diatur tentang  ‘ Pidana dan Tindakan Bagi Anak’  dalam Bab tersendiri (Bab Keempat, Pasal 106 s/d Pasal 123 RUU). Dalam Pasal 106 RUU juga ditegaskan batas minimum umum pertanggungjawaban pidana (the minimum age of criminal responsibility) yaitu 12 tahun;


3.    Korban kejahatan (victim of crime) juga  memperoleh perhatian, khususnya antara lain pada pengaturan tentang pedoman penjatuhan pidana (sentencing guidelines) dan jenis sanksi pidana (strafsoort) (Pasal 50 dan Pasal 51 ayat (1)  huruf I RUU;
4.    Asas legalitas dilengkapi dengan kemungkinan berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat dan berlakunya hukum adat. Dengan demikian dimungkinkan berlakunya ajaran sifat melawan hukum materiil (materiele wederechtelijkheid) dalam fungsinya baik negatif maupun positif (Pasal 1 ayat (3) RUU;
5.    Masalah keadilan (justice) yang  bersifat dominan. Dalam Pasal 16 RUU diatur, bahwa dalam mempertimbangkan hukum yang akan diterapkan, hakim sejauh mungkin mengutamakan keadilan di atas kepastian hukum;
6.    Dalam merumuskan perbuatan yang bersifat melawan hukum, tidak lagi dibedakan antara kejahatan (misdrijven) dan pelanggaran (overtredingen)  (WvS Buku II dan Buku III). Teori dan konsep yang mendasari pembedaan tersebut (‘wetsdelict’ dan ‘rechtsdelict’) tidak lagi relevan karena tidak lagi diterapkan secara konsisten. Kedua jenis delik tersebut disatukan dengan satu istilah “Tindak Pidana’ (Bab II) ;
7.    Pengaturan ‘corporate criminal responsibility’ yang bersifat umum atas dasar Teori Identifikasi (Pasal  44 s/d Pasal 49 RUU);
8.    Pengaturan kemungkinan diterapkannya bentuk  ‘vicarious liability’ dan ‘strict liability’ (Pasal 32 RUU);
9.    Tujuan pemidanaan (the aim of punishment) yang bersifat komprehensif-integral dan teleologis dirumuskan,  baik yang  memperhatikan si pelaku (memasyarakatkan terpidana dan membebaskan dari rasa bersalah) maupun yang bersifat melindungi masyarakat (mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman masyarakat ) serta mengembalikan harmoni kehidupan social (menyelesaikan konflik). Tujuan yang bersifat retributive dianggap ‘implied’ dalam pelbagai tujuan pemidanaan yang multi-dimensional tersebut  (Pasal  50 RUU);
10.    Pengaturan tentang pedoman penjatuhan pidana (standard guidelines of sentencing/straftoemetingsleidraad) untuk meciptakan pemidanaan yang obyektif dan rasional (Pasal 51  RUU);
11.    Kecenderungan untuk menghindari pidana kemerdekaan jangka pendek (short prison sentence) yang cenderung merusak, dengan mengatur sebanyak mungkin sanksi alternative (alternative sanctions) seperti pidana tutupan, pidana pengawasan, pidana kerja social dan pidana denda (Pasal 60  RUU dan seterusnya);
12.    Demikian pula mengenai system tindakan yang diatur secara luas pada Pasal 94 RUU dan seterusnya. Sistem tindakan diterapkan sehubungan dengan ketentuan Pasal 34 RUU yang mengatur tentang pelaku yang menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa atau retardasi mental dan Pasal 35 RUU bagi mereka yang kurang dapat dipertanggungjawabkan karena menderita gangguan jiwa,,penyakit jiwa atau retardasi mental; Pengaturan simultan antara pidana (straf) dan tindakan (maatregel) dalam suatu harmoni dikenal dalam hokum pidana modern sebagai system 2 (dua) jalur (double-track system, Zweispurigkeit);
13.    Pidana mati (capital punishment)  tetap dipertahankan, namun diatur dalam pasal tersendiri sebagai  ‘pidana yang bersifat khusus’ dan selalu diancamkan secara alternatif. Pidana mati dijatuhkan sebagai ‘upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat’ (Pasal 80 RUU). Dengan syarat-syarat tertentu juga dimungkinkan penerapan ‘Pidana Mati Percobaan’ (conditional death penalty) (Pasal 82 RUU), di mana pidana mati dimungkinkan untuk diubah menjadi pdana seumur hidup atau pidana penjara 20 tahun penjara;
14.    Pidana denda diatur dengan system kategori I-VI  untuk mengatasi persoalan inflasi dan sebagainya (Pasal 75 RUU);
15.    Pengaturan sanksi adat berupa ‘pemenuhan kewajiban adat’ (Pasal 93);



16.    Dalam Pasal 126 diatur pemberatan pidana bagi mereka yang melakukan tindak pidana dengan mendayagunakan keahlian atau profesinya, memanfaatkan anak di bawah usia 18 tahun atau dilakukan pada saat negara dalam keadaan bahaya/huru hara/bencana alam;
17.    Guna menampung perkembangan modern seperti kejahatan telematika (cyber-crime) dan sebagainya pada  Pasal 174 RUU diatur bahwa definisi ‘barang’ mencakup pula ‘benda berujut’ (air) dan ‘benda tak berujut’ seperti aliran listrik, gas, data dan program komputer, jasa komputer dan telpon;
       Selanjutnya sepanjang berkaitan dengan Tindak Pidana (Bab II), hal-hal yang menarik adalah sebagai berikut :
1.    Kriminalisasi terhadap  penyebaran atau pengembangan ajaran Komunisme /Marxisme/Leninisme secara melawan hukum; Apabila sampai menimbulkan kerusuhan dalam masyarakat maka ada pemberatan pidana. Hal ini sebagai konsekuensi keberadaan TAP MPRS No. XXV/MPRS/1966 (Pasal 193 dan Pasal 195 RUU);
2.    Tindak pidana  yang terkenal sebagai pasal-pasal penyebaran kebencian dan permusuhan (haatzaai-artikelen), (Pasal 154 dan Pasal 156 WvS) tetap diatur dengan perobahan  merupakan ‘penghinaan’ dan dirumuskan secara materiil. Untuk penghinaan pada pemerintah sah harus menimbulkan akibat terjadinya keonaran dalam masyarakat dan  terhadap golongan rakyat Indonesia harus berakibat timbulnya kekerasan terhadap orang atau barang ( Pasal 247 dan Pasal 249 RUU);
3.    Tindak Pidana Terhadap Agama dan Kehidupan Beragama diatur dalam Bab Khusus (Bab VII RUU). Hal ini merupakan refleksi bahwa Indonesia merupakan ‘Nation State’ yang religius, di mana semua agama (religion) yang diakui sah di Indonesia  merupakan kepentingan hukum yang besar yang harus dilindungi  dan tidak sekedar merupakan bagian dari ketertiban umum yang mengatur tentang rasa keagamaan atau ketenteraman hidup beragama; Hal ini semacam ‘Blasphemy’ di Inggris atau ‘Godslasteringswet’ di Belanda;
4.    Bab khusus baru yang lain adalah Bab VI RUU yang mengatur ‘Tindak Pidana Terhadap Penyelenggaraan Peradilan’. Tindak pidana di sini tidak hanya mengatur ‘Contempt of Court’, tetapi juga ‘Obstruction of Justice’. Catatan : Ada kritik mengapa dalam Pasal 288 ayat (1) RUU yang diancam pidana hanya penasihat hukum ?
5.    Pasal 255 RUU mengatur ‘bukan delik santet’ yang bersifat delik materiil, tetapi delik  formil  untuk mencegah dan  memberantas praktek ‘black magic’ (setiap orang yang menyatakan dirinya mempunyai kekuatan magis memberitahukan, menimbulkan harapan , menawarkan atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain untuk menimbulkan  kematian, penderitaan mental atau fisik). Dengan kriminalisasi diharapkan dapat mencegah praktek penipuan, praktek ‘black magic’ benar atau tidak, dan  praktek main hakim sendiri anggota masyarakat dalam menangani mereka yang dituduh sebagai dukun santet di beberapa daerah;
6.    Perluasan delik perkosaan dan delik perzinahan (adultery) (delik aduan);  menghamili wanita secara tidak bertanggungjawab; persertubuhan dengan janji kawin yang  diingkari; homoseksualitas terhadap anak di bawah usia 18 tahun; hidup bersama diluar kawin  (kumpul kebo) (merupakan delik materiil dan delik aduan); persetubuhan antara orang dewasa yang tidak  kawin atau ‘fornication’ (merupakan delik materiil dan delik aduan); ‘incest’ dan ‘loitering’ (bergelandangan di muka umum untuk melacurkan diri); (Bab XV);Selanjutnya tindak pidana homosukseualitas yang sebenarnya bukan hal yang baru. Pembaharuan dari KUHP hanya berkaitan dengan   pembatasan terhadap homosek yang dilakukan terhadap anak di bawah 18 tahun (Pasal 427  RUU KUHP) Catatan : Ada yang berpendapat agar delik yang tersebut pada Butir 5 dan delik kumpul kebo dan fornication diatasi  saja dengan hukum adat (Pasal 1 ayat  3 RUU);


7.    Dalam membahas delik susila tersebut pada Butir 6, ada kecenderungan masyarakat perkotaan yang secular untuk menerapkan konsep ‘victimless crimes’ sebagaimana yang berlaku di Barat yang melihat korban sebagai korban individual. Dalam Konsep Timur konsep korban harus dilihat dalam konteks social.

Catatan :
        RUU KUHP nampaknya masih memerlukan penyempurnaan dan konsolidasi kembali, dengan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut :
(a). Masih kurangnya sosialisasi dan mengingat pula bahwa setelah selesainya perumusan RUU KUHP pada tahun 2000 telah  terjadi perkembangan yang pesat dalam hukum pidana, seperti UU tentang Pemberantasan Terorisme yang materinya antara lain  juga diatur dalam RUU KUHP (Pasal-pasal 256, 302 dan 303  RUU, ), UU tentang Pengadilan HAM yang mengatur ‘genocide’ yang juga diatur dalam RUU KUHP, UU Tindak Pidana Korupsi yang mengatur pula  Tindak Pidana Jabatan yang juga diatur dalam Pasal 304 RUU KUHP, UU No. 23 Tahun 1997 yang mengatur Tindak Pidana Lingkungan Hidup yang diatur pula dalam Pasal 329-330 RUU KUHP, dan Tindak pidana Pencucian Uang (Money Laundering) serta pemahaman tentang ‘Delik Pers’ dalam kaitannya dengan HAM dan UU Pers (the freedom of expression) dan lain-lain ,  maka disarankan agar RUU KUHP tersebut diaudit  dan dikonsolidasikan kembali, dengan melibatkan :
a.    Pakar-pakar yang terlibat dalam perancangan; dan
b.    Pakar-pakar lain yang relevan.
Jangka waktu yang dibutuhkan kira-kira antara 3-6 bulan (auditing, konsolidasi dan sosialisasi). RUU yang sudah diperbaharui kemudian diajukan kepada DPR hasil Pemilu 2004, mengingat masa kerja DPR saat ini tidak lama lagi (apalagi mereka sudah disibukkan dengan kegiatan mengadapi Pemilu), padahal RUU terdiri atas lebih dari 600 pasal yang membutuhkan waktu pembahasan yang relatif lama.
      Sebagai contoh untuk bahan ‘auditing’ dan konsolidasi yang bisa juga bermanfaat secara timbal balik dengan perkembangan tindak pidana di luar KUHP, adalah kriminalisasi terhadap orang yang menjadi anggota organisasi terorisme yang diatur dalam Pasal 303 RUU, tetapi belum diatur dalam  UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Demikian pula beberapa tindak pidana baru sebagaimana diatur dalam Palermo Convention Tahun 2000 misalnya tentang ikut serta dalam organisasi kejahatan, penyelundupan imigran gelap (human cargo), perdagangan wanita dan anak-anak untuk pelacuran juga belum diatur dalam RUU;

(b). Perkembangan hukum pidana di luar kodifikasi (KUHP), khususnya berupa pelbagai UU Tindak Pidana Khusus  nampaknya sulit dihindarkan mengingat berkembangnya pelbagai tindak pidana berat yang sering dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) seperti korupsi, terorisme, kejahatan transnasional terorganisasi (organized transnational crimes) dll.,  yang memerlukan cara-cara luarbiasa juga untuk menanggulanginya (extraordinary measures)  dan  seringkali cara-cara luar biasa ini  harus menyimpang dari asas-asas hukum pidana umum baik hukum pidana materiil (KUHP) maupun hukum acara pidana (KUHAP); Catatan : Baru-baru ini Indonesia menandatangani UN Convention Against Coruption, Vienna, 2003. Perlu dikaji implikasinya terhadap hukum nasional yang berkaitan dengan tiga permasalahan pokok hukum pidana.

(c). Telah diratifikasinya beberapa konvensi internasional yang mempunyai implikasi terhadap hukum pidana dalam bentuk kriminalisasi. Sesuai dengan system yang dianut oleh Indonesia, maka kriminalisasi tersebut tidak terjadi secara otomatis, namun masih memerlukan adanya ‘implementing legislation’. Beberapa Konvensi tersebut antara lain adalah Convention Against Torture, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment dan Convention Against Racial Discrimination.


(d) Perlu dikaji pekembangan asas-asas hukum pidana  sehubungan dengan perkembangan hukum pidana nasional dan internasional (international criminal law) yang sangat pesat sepertin keberadaan Statuta Roma 1998,  penyimpangan terhadap asas legalitas, kejahatan korporasi, ketentuan pidana mati, penerapan jurisdiksi universal dan asas dalam pengadilan terhadap pelanggaran HAM berat, ‘crimes by omission’ dalam kaitannya dengan ‘command responsibility’, ‘war crimes’,   pemahaman terhadap hukum pidana khusus, perkembangan ajaran sifat melawan hukum materiil  dan sebagainya;
(e) Antisipasi tentang implikasi KUHP baru terhadap hukum acara pidana (KUHAP). Sebagai contoh adalah akibat dihapuskannya perbedaan antara kejahatan dan pelanggaran yang disatukan dalam satu istilah ‘tindak pidana’.
(f) Penyesuaian dengan iklim demokratisasi sebagai inti Gerakan Reformasi yang bergulir sejak awal tahun 1998.
         

                                                Jakarta,  17 Januari, 2004.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar